Oleh: Subhan El Hafiz (Dosen Psikologi UHAMKA)
Psikologi merupakan ilmu yang dipelajari di perkuliahan pada jenjang S1. Namun demikian, hal ini berlaku untuk Indonesia dimana pendidikan hingga SLTA tidak ada mata pelajaran Psikologi. Tapi apakah memang remaja butuh ilmu ini? Pertanyaan ini yang akan kita bahas dalam artikel ini.
Jika dikaitkan pada aspek terapan, tentu butuh bahkan sejak pendidikan pra-sekolah Psikologi sudah dapat diaplikasikan oleh orang tua, misalnya dalam mendidik anak usia balita. Begitu juga untuk guru-guru TK dan Kelompok Bermain, Psikologi dapat membantu menyusun model pendidikan yang cocok untuk tiap anak. Tentu saja pada jenjang yang lebih tinggi ada Bimbingan Konseling yang kajiannya juga berasal dari Psikologi.
Namun jika pertanyaannya adalah, apakah perlu siswa belajar Psikologi? Hal ini agak sulit karena jika berkaitan dengan penambahan mata pelajaran akan tetapi jika Psikologi masuk sebagai hidden kurikulum maka sangat mungkin dilakukan. Sebagai hidden kurikulum artinya setiap siswa mampu menerapkan ilmu Psikologi dasar dalam berbagai mata pelajaran yang relevan.
Misalnya, pada saat belajar Ilmu Agama, maka Psikologi bisa membantu menjelaskan mengaplikasikan agar makna nilai dalam agama dapat dijalankan menjadi perilaku dan kebiasaan. Contoh, pada saat membahas tentang baik dan buruk, Psikologi dapat menjelaskan bagaimana munculnya perilaku menolong pada diri manusia. Dengan demikian, siswa dapat menjalankan sesuatu yang dinilai baik sesuai dengan penalarannya.
Dalam Psikologi perilaku menolong bisa disebabkan karena adanya atribusi pada seseorang, yaitu penilaian seseorang secara sosial terhadap perilakunya. Jika seseorang miskin karena dianggap karena kesalahannya sendiri (atribusi internal), misalnya kalah main judi maka potensi orang tersebut untuk ditolong menjadi semakin kecil daripada seseorang menjadi miskin karena dianggap usahanya bangkrut (atribusi eksternal). Nah, dengan demikian para pelajar bisa meningkatkan perilaku menolongnya dengan berusaha melekatkan atribusi eksternal pada orang yang dinilai atau dipersepsikan.
Selain pelajaran agama, Psikologi juga bisa menjadi hidden kurikulum dalam pendidikan kewarganegaraan. Misalnya, dalam Psikologi dibahas bahwa kecenderungan seseorang memilih calon atau partai tertentu karena adanya ikatan emosional antara pemilih dengan calon atau partai tersebut dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan demikian, pelajar akan sadar jika memang mereka memiliki hak pilih tidak perlu membenci atau memusuhi orang lain yang memiliki pilihan berbeda karena memang berasal dari latar belakang lingkungan yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan pilihan.
Tentu saja, hidden kurikulum Psikologi berarti Psikologi punya peran untuk meningkatkan kepercayaan diri, menurunkan kemalasan, dan sebagainya. Jadi perlukah hal ini dipelajari di sekolah, tentu saja sangat perlu namun cukuplah sebagai kurikulum tersembunyi karena hanya akan menjadi beban jika Psikologi harus masuk sebagai mata pelajaran baru ditengah besarnya beban siswa untuk belajar di sekolah saat ini. (*)
Pencerahanya yg bgus